Senin, 31 Agustus 2009

Surat Terbuka dengan Semangat Gede untuk berubah

Ketika seorang Ibu diperkosa didepan anaknya, apa yang kira-kira akan kita lakukan sebagai anak ?
Saya yakin semua berontak dan berusaha menyelamatkan Sang Ibu.

Ketika seorang anak dipukul tanpa alasan yang jelas, apa yang akan kita lakukan sebagai orang tua ?
Saya yakin semua membela Sang Anak.

Dan dari 2 contoh kasus itu, semua jawabannya adalah sebuah tindakan. Tindakan yang tegas dan keras.

Namun, saya tidak melihat Bapak Gede Prama mengerti apa arti sebuah tindakan. Kebetulan, saya berkesempatan menghadiri Sarasehan Devolusi Anak Negeri yang diadakan di GKJ, Jakarta, yang dihadiri antara lain oleh Pak Gede Prama, Cak Nun, dan Pak Anand Krishna.

Sarasehan tersebut mengangkat topik bagaimana anak negeri saat ini memandang keadaan negeri tercintanya. Negeri ini sudah berada dalam keadaan kritis, seperti dipaparkan oleh Pak Anand Krishna. Dimana ancaman disintegrasi terjadi dimana-mana, sweeping dan pembunuhan berdasar agama di KTP, impor budaya asing yang tidak relevan dengan budaya asal dan kearifan lokal, dan banyak pihak yang ingin mengganti landasan negara, Pancasila menjadi berlandaskan agama tertentu.

Pembicara dari Departemen Pertahanan, sudah menjelaskan bahwa dibutuhkan semangat cinta tanah air dan meyakini Pancasila sebagai landasan negara untuk bisa menegakkan bela negara. Pembicara dari Forum Silaturahmi Keraton pun juga sudah jelas menegaskan untuk kembali ke kearifan lokal dan budaya asal. Cak Nun sangat tegas mengkritisi, dengan gayanya yang sangat khas, mentalitas atau cara berpikir bangsa ini yang harus segera diubah. Bapak Anand Krishna menegaskan kembali bahwa komitmen untuk kembali ke budaya asal tidak boleh setengah-setengah, dan tidak sekedar menjadi wacana, no lip service!

Namun, sangat menarik ketika Pak Gede Prama, menyikapi semua permasalahan yang sudah ada di depan mata itu HANYA dengan konsep merangkul perbedaan, mengagungkan betapa indahnya perbedaan, merayakan perbedaan. Dan hidup ini, menurut Beliau, mengutip konsep dari India, hanya sebuah permainan, Leela. Dan lebih menarik lagi ketika Pak Gede Prama mengatakan Bapak Anand Krishna dan seorang peserta sarasehan yang peduli pada isu perda syariat dan sweeping, terlalu serius dalam bermain dengan hidup.

Saya benar-benar tidak habis pikir. Gede Prama, seorang motivator terkenal, ternyata tidak beranjak dari konsep belaka. Konsep yang mana semua orang bisa baca dari berbagai sumber, merayakan perbedaan. Lalu apa ? Then what next, Bos ? Apakah semua permasalahan itu bisa selesai dengan hanya tersenyum penuh kelembutan, dengan mengajak semua orang mejadi 'lidah' yang lembut?

Arjuna membunuh semua sanak saudaranya, Kurawa, bahkan gurunya, Drona, demi menegakkan Dharma dalam medan perang Kurukhsetra. Arjuna serius bertindak, bukan berkonsep belaka.

Perayaan perbedaan sudah ditemukan oleh founding fathers kita dengan mengutip slogan dari Mpu Tantular, 'Bhineka Tunggal Ika'. Namun perayaan perbedaan ini jika hanya sebatas konsep, dan hanya sekedar menjadi lambang di bawah burung Garuda, percuma. Dan inilah yang terjadi saat ini, slogan 'Bhineka Tunggal Ika' hanya menjadi konsep belaka. Buktinya saya sendiri, menjadi korban pemukulan oleh FPI ketika hendak merayakan hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 2008 yang lalu. Bayangkan jika saya adalah anak Anda, Pak Gede. Bagaimana reaksi Anda ? Apakah Anda tetap akan menjadi 'lidah' ? Apakah Anda akan tetap tidak serius bermain Leela ?

Saya tidak akan terlalu kecewa jika Bapak Gede Prama bukan seorang motivator terkenal. Pemahaman beliau saya bisa mengerti dan saya bisa hormati. Namun ketika Bapak Gede Prama menjadi motivator terkenal, yang sudah sering sekali dan akan semakin sering berbicara di depan banyak orang, semangat menjadi 'lidah' ini hanya akan melemahkan bangsa ini, akan menghambat lahirnya Arjuna dalam diri anak negeri dan hanya akan mempercepat kehancuran bangsa ini. Yang dibutuhkan bangsa ini saat ini adalah para Arjuna yang lahir dalam diri setiap anak negeri. Arjuna yang mengambil sikap menegakkan Dharma-nya sebagai seorang Ksatria. Arjuna yang tidak takut menunjukkan giginya. Arjuna sudah menemukan jati dirinya sebagai anak bangsa, bangga sebagai anak bangsa, cinta pada tanah airnya dan menjunjung tinggi nilai budaya asal serta kearifan lokal dengan tindakan nyata. Bukan hanya Lip Service!

Jadi, melalu surat terbuka ini, saya mohonkan kepada Bapak Gede Prama untuk membantu, bukan malah menghambat, kelahiran Arjuna-Arjuna di bumi Indonesia. Demi kejayaan bangsa Indonesia.

Salam,
Nyoman Aisanya Wibhuti
http://lt-lt.facebook.com/topic.php?uid=31614314790&topic=7793